AGAMA DAN MASYARAKAT
Pengertian Agama
Secara
etimologi, kata “agama” bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan
diambil dari istilah bahasa Sansekerta yang menunjuk pada sistem
kepercayaan dalam Hinduisme dan Budhisme di India. Agama terdiri dari
kata “a” yang berarti “tidak”, dan “gama” berarti kacau. Dengan
demikian, agama adalah sejenis peraturan yang menghindarkan manusia dari
kekacauan, serta mengantarkan menusia menuju keteraturan dan
ketertiban.
Selain
itu, dikenal pula istilah religion bahasa Inggris, religio atau religi
dalam bahasa Latin, al-din dalam bahasa Arab, dan dien dalam bahasa
Semit. Kata-kata itu ditengarai memiliki kemiripan makna dengan kata
“agama” yang berasal dari bahasa Sansekerta itu. Religious (Inggris)
berarti kesalehan, ketakwaan, atau sesuatu yang sangat mendalam dan
berlebih-lebihan. Yang lain menyatakan bahwa religion adalah: (1)
keyakinan pada Tuhan atau kekuatan supramanusia untuk disembah sebagai
pencipta dean penguasa alam semesta; (2) sistem kepercayaan dan
peribadatan tertentu.
A. Fungsi Agama
1. Fungsi Agama dalam Masyarakat
Fungsi agama dalam masyarakat ada tiga aspek penting yang selalu dipelajari, yaitu kebudayaan, sistem sosial, dan kepribadian.
Teori
fungsional dalam melihat kebudayaan pengertiannya adalah, bahwa
kebudayaan itu berwujud suatu kompleks dari ide-ide, gagasan,
nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sistem sosial yang terdiri dari
aktivitas-aktivitas manusia-manusia yang berinteraksi, berhubungan,
serta bergaul satu dengan yang lain, setiap saat mengikuti pola-pola
tertentu berdasarkan adat tata kelakuan, bersifat kongkret terjadi di
sekeliling.
Fungsi
agama dalam pengukuhan nilai-nilai, bersumber pada kerangka acuan yang
bersifat sakral, maka normanya pun dikukuhkan dengan sanksi-sanksi
sakral. Dalam setiap masyarakat sanksi sakral mempunyai kekuatan memaksa
istimewa, karena ganjaran dan hukumannya bersifat duniawi dan
supramanusiawi dan ukhrowi.
Fungsi
agama di bidang sosial adalah fungsi penentu, di mana agama menciptakan
suatu ikatan bersama, baik di antara anggota-anggota beberapa mayarakat
maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan
mereka.
Fungsi
agama sebagai sosialisasi individu ialah individu, pada saat dia tumbuh
menjadi dewasa, memerlukan suatu sistem nilai sebagai semacam tuntunan
umum untuk (mengarahkan) aktivitasnya dalam masyarakat, dan berfungsi
sebagai tujuan akhir pengembangan kepribadiannya. Orang tua di mana pun
tidak mengabaikan upaya “moralisasi” anak-anaknya, seperti pendidikan
agama mengajarkan bahwa hidup adalah untuk memperoleh keselamatan
sebagai tujuan utamanya. Oleh sebab itu, untuk mencapai tujuan tersebut
harus beribadat dengan kontinyu dan teratur, membaca kitab suci dan
berdoa setiap hari, menghormati dan mencintai orang tua, bekerja keras,
hidup secara sederhana, menahan diri dari tingkah laku yang tidak jujur,
tidak berbuat yang senonoh dan mengacau, tidak minum-minuman keras,
tidak mengkonsumsi obat-obatan terlarang, dan tidak berjudi. Maka
perkembangan sosialnya terarah secara pasti serta konsisten dengan suara
hatinya.
2. Dimensi Komitmen Agama
Masalah
fungsionalisme agama dapat dinalisis lebih mudah pada komitmen agama,
menurut Roland Robertson (1984), diklasifikasikan berupa keyakinan,
praktek, pengalaman, pengetahuan, dan konsekuensi.
- Dimensi
keyakinan mengandung perkiraan atau harapan bahwa orang yang religius
akan menganut pandangan teologis tertentu, bahwa ia akan mengikuti
kebenaran ajaran-ajaran agama.
- Praktek
agama mencakup perbuatan-perbuatan memuja dan berbakti, yaitu perbuatan
untuk melaksanakan komitmen agama secara nyata. Ini menyangkut,
pertama, ritual, yaitu berkaitan dengan seperangkat upacara keagamaan,
perbuatan religius formal, dan perbuatan mulia. Kedua, berbakti tidak
bersifat formal dan tidak bersifat publik serta relatif spontan.
- Dimensi
pengalaman memperhitungkan fakta, bahwa semua agama mempunyai perkiraan
tertentu, yaitu orang yang benar-benar religius pada suatu waktu akan
mencapai pengetahuan yang langsung dan subjektif tentang realitas
tertinggi, mampu berhubungan, meskipun singkat, dengan suatu perantara
yang supernatural.
- Dimensi
pengetahuan dikaitkan dengan perkiraan, bahwa orang-orang yang bersikap
religius akan memiliki informasi tentang ajaran-ajaran pokok keyakinan
dan upacara keagamaan, kitab suci, dan tradisi-tradisi keagamaan mereka.
- Dimensi konsekuensi dari komitmen religius berbeda dengan tingkah laku perseorangan dan pembentukan citra pribadinya.
3. Hubungan Agama dengan Masyarakat
Telah
kita ketahui Indonesia memiliki banyak sekali budaya dan adat istiadat
yang juga berhubungan dengan masyarakat dan agama. Dari berbagai budaya
yang ada di Indonesia dapat dikaitkan hubungannya dengan agama dan
masyarakat dalam melestraikan budaya.Sebagai contoh budaya Ngaben yang
merupakan upacara kematian bagi umat hindu Bali yang sampai sekarang
masih terjaga kelestariannya.Hal ini membuktikan bahwa agama mempunyai
hubungan yang erat dengan budaya sebagai patokan utama dari masyarakat
untuk selalu menjalankan perintah agama dan melestarikan
kebudayaannya.Selain itu masyarakat juga turut mempunyai andil yang
besar dalam melestarikan budaya, karena masyarakatlah yang menjalankan
semua perintah agama dan ikut menjaga budaya agar tetap terpelihara.
Selain
itu ada juga hubungan lainnya,yaitu menjaga tatanan kehidupan.Maksudnya
hubungan agama dalam kehidupan jika dipadukan dengan budaya dan
masyarakat akan membentuk kehidupan yang harmonis,karena ketiganya
mempunyai keterkaitan yang erat satu sama lain. Sebagai contoh jika kita
rajin beribadah dengan baik dan taat dengan peraturan yang ada,hati dan
pikiran kita pasti akan tenang dan dengan itu kita dapat membuat
keadaan menjadi lebih baik seperti memelihara dan menjaga budaya kita
agar tidak diakui oleh negara lain.
Namun
sekarang ini agamanya hanyalah sebagi symbol seseorang saja. Dalam
artian seseorang hanya memeluk agama, namun tidak menjalankan segala
perintah agama tersebut. Dan di Indonesia mulai banyak
kepercayaan-kepercayaan baru yang datang dan mulai mengajak/mendoktrin
masyarakat Indonesia agar memeluk agama tersebut. Dari banyaknya
kepercayaan-kepercayaan baru yang ada di Indonesia, diharapkan
pemerintah mampu menanggulangi masalah tersebut agar masyarakat tidak
tersesaat di jalannya. Dan di harapkan masyarakat Indonesia dapat hidup
harmonis, tentram, dan damai antar pemeluk agama yang satu dengan
lainnya.
B. Pelembagaan Agama
1. Tipe Kaitan Agama dengan Masyarakat
Kaitan
agama dengan masyarakat dapat mencerminkan tiga tipe, meskipun tidak
menggambarkan sebenarnya secra utuh (Elizabeth K. Nottingham, 1954):
a. Masyarakat yang terbelakang dan nilai-nilai sakral.
Masyarakat
tipe ini kecil, terisolasi, dan terbelakang. Anggota masyrakat menganut
agama yang sama. Oleh karenanya keanggotaan mereka dalam masyarakat dan
dalam kelompok keagamaan adalah sama. Agama menyusup ke dalam kelompok
aktivitas yang lain. Sifat-sifatnya:
- Agama memasukkan pengaruhnya yang sacral ke dalam system nilai masyarakat secra mutlak.
- Dalam
keadaan lain selain keluarga relatif belum berkembang, agama jelas
menjadi fokus utama bagi pengintegrasian dan persatuan dari masyarakat
secara keseluruhan.
b. Masyarakat praindustri yang sedang berkembang.
Keadaan
masyarakatnya tidak terisolasi, ada perkembangan teknologi yang lebih
tinggi darpada tipe pertama. Agama memberikan arti dan ikatan kepada
system nilai dalam tiap mayarakat ini, tetapi pada saat yang sama
lingkungan yang sacral dan yang sekular itu sedikit-banyaknya masih
dapat dibedakan.
c. Masyarakat Industri Sekular
Masyarakat
industri bercirikan dinamika dan teknologi semakin berpengaruh terhadap
semua aspek kehidupan, sebagian besar penyesuaian- penyesuaian terhadap
alam fisik, tetapi yang penting adalah penyesuaian- penyesuaian dalam
hubungan kemanusiaan sendiri. Perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi mempunyai konsekuensi penting bagi agama, Salah satu akibatnya
adalah anggota masyarakat semakin terbiasa menggunakan metode empiris
berdasarkan penalaran dan efisiensi dalam menanggapi masalah
kemanusiaan, sehingga lingkungan yang bersifat sekular semakin meluas.
Watak masyarakat sekular menurut Roland Robertson (1984), tidak terlalu
memberikan tanggapan langsung terhadap agama. Misalnya pemikiran agama,
praktek agama, dan kebiasaan- kebiasaan agama peranannya sedikit.
2. Pelembagaan Agama
Pelembagaan agama adalah suatu tempat atau lembaga untuk membimbing, membina dan mengayomi suatu kaum yang menganut agama.
Pelembagaan Agama di Indonesia yang mengurusi agamanya:
1. Islam : MUI
MUI
atau Majelis Ulama Indonesia adalah Lembaga Swadaya Masyarakat yang
mewadahi ulama, zu’ama, dan cendikiawan Islam di Indonesia untuk
membimbing, membina dan mengayomi kaum muslimin di seluruh Indonesia.
Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 Hijriah,
bertepatan dengan tanggal 26 juli 1975 di Jakarta, Indonesia.
2. a. Kristen : Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI)
PGI
(dulu disebut Dewan Gereja-gereja di Indonesia – DGI) didirikan pada 25
Mei 1950 di Jakarta sebagai perwujudan dari kerinduan umat Kristen di
Indonesia untuk mempersatukan kembali Gereja sebagai Tubuh Kristus yang
terpecah-pecah. Karena itu, PGI menyatakan bahwa tujuan pembentukannya
adalah “mewujudkan Gereja Kristen Yang Esa di Indonesia.”
b. Katolik : Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI)
Konferensi
Waligereja Indonesia (KWI atau Kawali) adalah organisasi Gereja Katolik
yang beranggotakan para Uskup di Indonesia dan bertujuan menggalang
persatuan dan kerja sama dalam tugas pastoral memimpin umat Katolik
Indonesia. Masing-masing Uskup adalah otonom dan KWI tidak berada di
atas maupun membawahi para Uskup dan KWI tidak mempunyai cabang di
daerah. Keuskupan bukanlah KWI daerah. Yang menjadi anggota KWI adalah
para Uskup di Indonesia yang masih aktif, tidak termasuk yang sudah
pensiun. KWI bekerja melalui komisi-komisi yang diketuai oleh
Uskup-Uskup. Pada 2006 anggota KWI berjumlah 36 orang, sesuai dengan
jumlah keuskupan di Indonesia (35 keuskupan) ditambah seorang uskup dari
Ambon (Ambon memiliki 2 uskup).
3. Hindu : persada
Parisada Hindu Dharma Indonesia ( Parisada ) ialah: Majelis tertinggi umat Hindu Indonesia.
4. Budha : MBI
Majelis
Buddhayana Indonesia adalah majelis umat Buddha di Indonesia. Majelis
ini didirikan oleh Bhante Ashin Jinarakkhita pada hari Asadha 2499 BE
tanggal 4 Juli 1955 di Semarang, tepatnya di Wihara Buddha Gaya,
Watugong, Ungaran, Jawa Tengah, dengan nama Persaudaraan Upasaka-Upasika
Indonesia (PUUI) dan diketuai oleh Maha Upasaka Madhyantika S.
Mangunkawatja.
5. Konghucu : MATAKIN
Majelis
Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (disingkat MATAKIN) adalah sebuah
organisasi yang mengatur perkembangan agama Khonghucu di Indonesia.
Organisasi ini didirikan pada tahun 1955.
Keberadaan
umat beragama Khonghucu beserta lembaga-lembaga keagamaannya di
Nusantara atau Indonesia ini sudah ada sejak berabad-abad yang lalu,
bersamaan dengan kedatangan perantau atau pedagang-pedagang Tionghoa ke
tanah air kita ini. Mengingat sejak zaman Sam Kok yang berlangsung
sekitar abad ke-3 Masehi, Agama Khonghucu telah menjadi salah satu di
antara Tiga Agama Besar di China waktu itu; lebih-lebih sejak zaman
dinasti Han, atau tepatnya tahun 136 sebelum Masehi telah dijadikan
Agama Negara.
C. Agama, Konflik dan Masyarakat
1. Agama Sebagai Faktor Konflik Di Masyarakat
Agama
dalam satu sisi dipandang oleh pemeluknya sebagai sumber moral dan
nilai, sementara di sisi lain dianggap sebagai sumber konflik. Menurut
Afif Muhammad: Agama acap kali menampakkan diri sebagai sesuatu yang
berwajah ganda”. Sebagaimana yang disinyalir oleh John Effendi yang
menyatakan bahwa Agama pada sesuatu waktu memproklamirkan perdamaian,
jalan menuju keselamatan, persatuan dan persaudaraan. Namun pada waktu
yang lain menempatkan dirinya sebagai sesuatu yang dianggap
garang-garang menyebar konflik, bahkan tak jarang, seperti di catat
dalam sejarah, menimbulkan peperangan.
Sebagaimana
pandangan Afif Muhammad, Betty R. Scharf juga mengatakan bahwa agama
juga mempunyai dua wajah. Pertama, merupakan keenggaran untuk menyerah
kepada kematian, menyerah dan menghadapi frustasi.
Kedua,
menumbuhkan rasa permusuhan terhadap penghancuranb ikatan-ikatan
kemanusiaan. Fakta yang terjadi dalam masyarakat bahwa “Masyarakat”
menjadi lahan tumbuh suburnya konflik. Bibitnya pun bias bermacam-macam.
Bahkan, agama bias saja menjadi salah satu factor pemicu konflik yang
ada di Masyarakat itu sendiri.
2. Konflik Yang Ada Dalam Agama
Dalam
perjalannya sejarah, sejak kepercayaan animisme dan dinamisme sampai
monotheisme menjadi agama yang paling banyak dianut di muka bumi ini
agama hampir selalu menciptakan perpecahan. Sebagai contoh, dalam agama
India, khususnya Hindu-Budha, agama yang dibawa Sidharta Gautama ini
merupakan rekasi dari ekses negative yang di bawa oleh agama Hindu.
Walaupun agama Budha disebarkan dengan damai namun dapat dengan jelas
terlihat bahwa masalah pembagian kasta dalam bingkai caturvarna menjadi
masalah utama. Pada awalnya memang pembagian kasta ini merupakan
spesialisasi pekerjaan, ada yang menjadi pemimpin agama, penguasa dan
prajurit, dan rakyat biasa. Namun, dalam perjalannya terjadi penghisapan
terutama dari pemimpin agama, prajurit, dan penguasa terhadap rakyat
jelata. Implementasi yang salah dari caturvarna inilah yang diprotes
dengan halus oleh Budha yang pada awalnya tidak menyebut diri mereka
sebagai agama, tetapi berfungsi menebarkan cinta kasih terhadap sesama
mahluk hidup, bukan saja manusia, tetapi juga hewan, dan tumbuhan.
Sebagai reaksi dari meluasnya pengaruh Budha, Otoritas Hindu kemudian
mengadakan pembersihan terhadap pengaruh Budha ini. Namun demikian,
karena ajaran Budha lebih bersifat egaliter, usaha otoritas hindu ini
menemui jalan buntu, bahkan agama Bundha sendiri dapat berkembang jauh
lebih pesat dari pada agama Hindu, dan mendapat banyak pemeluk di Negara
Tiongkok di kemudian hari.
Selain
itu unsur konflik yang terbesar terjadi pula pada pengikut agama
terbesar di dunia yaitu Abraham Religions, atau agama yang diturungkan
oleh Abraham, yaitu Yahudi, Nasrani, dan Islam. Tulisan ini hanya
membatasi pada penggambaran konflik di antara ketiga agama tersebut,
bukan pada konflik intern dalam masing-masing agama tersebut. Inti dari
agama-agama Abraham ini adalah akan datang nabi terakhir yang akan
menyelamatkan dunia ini. Hal yang menjadi masalah utama adalah tidak ada
kesepakatan diantara ketiga agama tersebut tentang siapa nabi yang akan
datang tersebut. Pihak Yahudi menyatakan belum datang nabi terakhir
itu, sedangkan pihak Nasrani mengatakan Nabi Isa (Yesus Kristus) adalah
nabi terakhir, lalu Islam mengklaim Nabi Muhhamad sebagai nabi terakhir.
Keadaan ini kemudian semakin diperparah ketika tidak ada pengakuan dari
masing-masing agam yang masih bersaudara tersebut. Ketika berbagai
unsure non-theologis, khususnya politik, ekonomi, dan budaya, menyusup
ke dalam masalah ini, konflik memang tidak dapat dielakkan.
Berbagai konflik diantara agama-agama dipaparkan secara khusus:
- Konflik
antara Yahudi dan Nasrani. Walaupun sumber konflik ini didasarkan atas
kitab suci namun justru unsur dogmatis agama ini sangat mendukung
pengambaran konflik yang terjadi. Menurut versi Yahudi, Nasrani adalah
agama yang sesat karena menganggap Yesus sebagai mesias (juru selamat).
Dalam pandangan Yahudi sendiri Yesus adalah penista agama yang paling
berbahaya karena menganggap dirinya adalah anak Allah, sampai akhirnya
otoritas Yahudi sendiri menghukum mati Yesus dengan cara disalibkan,
sebuah jenis hukuman bagi penjahat kelas kakap pada waktu itu. Sedangkan
menurut pandangan Kristen, umat Yahudi adalah umat pilihan Allah yang
justru menghianati Allah itu sendiri. Untuk itu Yesus datang ke dunia
demi menyelamatkan umat tersebut dari murka Allah. Dalam beberapa
kesempatan, misalnya, ketika Yesus mengamuk di bait Allah karena dipakai
sebagai tempat berjualan, atau dalam kasus lain yaitu penolakan orang
Israel terhadap ajaran Yesus.
- Konflik
Islam-Kristen. Konflik ini pada awalnya diilhami oleh kepercayaan bahwa
Islam memandang Nasrani sebagai agama kafir karena mempercayai Yesus
sebagai anak Allah, padahal dalam ajaran Islam Nabi Isa (Yesus)
merupakan nabi biasa yang pamornya kalah dari nabi utama mereka Muhammad
S.A.W. Konflik ini pada awalnya hanya pada tataran kepercayaan saja,
namun ketika unsur politis, ekonomi, dan budaya masuk, maka konflik yang
bermuara pada pecahnya Perang Salib selama beberapa abad menegaskan
rivalitas Islam-Kristen sampai sekarang. Konflik itu sendiri muncul
ketika Agama Kristen dan Islam mencapai puncak kejayaannya berusaha
menunjukkan dominasinya. Ketika itu Islam yang berusaha meluaskan
pengaruhnya ke Eropa, mendapat tantangan dari Nasrani yang terlebih
dahulu ada dan telah mapan. Puncak pertempuran itu sebenarnya terjadi
ketika perebutan Kota Suci Jerusalem yang akhirnya dimenangkan tentara
salib. Sebagai balasan, Islam kemudian berhasil merebut Konstatinopel
yang merupakan poros dagang Eropa-Asia pada saat itu.
- Konflik
antara Yahudi-Islam yang masih hangat dalam ingatan kita. Konflik ini
berawal dari kepercayaan orang Yahudi akan tanah yang dijanjikan Allah
kepada mereka yang dipercayai terletak di daerah Israel, termasuk
Yerusalem, sekarang. Pasca perbudakan Mesir, ketika orang Yahudi
melakukan eksodus ke Mesir namun kemudian malah diperbudak sampai
akhirnya diselamatkan oleh Musa, orang Yahudi kemudian kembali ke tanah
mereka yang lama, yaitu Israel. Akan tetapi, pada saat itu orang Arab
telah bermukim di daerah itu. Didasarkan atas kepercayaan itu, kemudian
orang Yahudi mulai mengusir Orang Arab yang beragama Islam itu. Inilah
sebenarnya yang menjadi akar konflik Israel dan Palestina dalam rangka
memperebutkan Jerusalem. Konflik ini semakin panas ketika unsure politis
mulai masuk
Sumber: